Senin, 08 Februari 2010

MUSIK UNDERGROUND; SATANISME ATAU KEBODOHAN?


Musik Underground

Satanisme atau Kebodohan?

Benarkah mereka menggotong aliran musik pemuja setan? Kehidupan sehari-hari mereka ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Namun, ada hal-hal yang kontradiktif.

Musik underground tak pelak telah memberikan nuansa tersendiri dalam dunia musik Indonesia. Kendatipun, sesuai dengan sebutannya, aliran ini bergerak 'di bawah tanah' dan cenderung beredar 'hanya untuk kalangan sendiri', pengaruhnya diperkirakan akan kian meluas, khususnya di kalangan kaum muda. Meluasnya pengaruh ini sebagian didukung oleh kian gencarnya pentas musik underground. Salah satu pemrakarsanya, Dewo, seorang entertainer dan MC kondang, mengungkapkan, "Saya melihat, anak-anak underground ini akan dianaktirikan oleh beberapa kalangan, sehingga belum pernah digelar secara terbuka. Lalu, saya punya ide, bagaimana kalau dibuat pagelaran, melihat musik ini juga bisa berkembang seperti grup-grup mayor label." Pentas underground telah digelar di sejumlah kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Purwokerto, Malang, Surabaya dan Denpasar.

Satanisme?

Sejauh ini, pemunculan aliran musik ini cukup mengundang kontroversi dan perdebatan. Tabloid Adil sempat menurunkan laporan utama mengenai aliran ini, bertitel "Bangkitnya Kelompok Pemuja Setan" (16/4/1997). Beberapa orang tua mengaku cemas mengamati anak mereka suka menyebut-nyebut Lucifer dan memasang atribut-atribut underground di kamarnya.

Personil dan fans aliran musik ini dapat dikenal melalui kostum kebesaran hitam-hitam (belakangan bermunculan pula corak warna lain) dengan hiasan nama dan lambang-lambang grup metal. Khusus para penggemar black metal, mereka suka mengenakan masker bermotifkan wajah setan. Sangkakala berkesempatan melihat aksi mereka dari dekat ketika menyaksikan pentas "Benteng Bawah Tanah" di Yogyakarta, Minggu (7/12). Mereka berpolah mulai dari memutar-mutar kepala (head bang), melompat dari panggung ke tengah kerumunan penonton, saling membenturkan badan, menjerit histeris, membakar dupa dan menaburkan bunga hingga menggotong tengkorak binatang. Seorang penonton bahkan sempat meloncat ke atas panggung untuk mempertunjukkan aksi menggigit ular.

Selain itu, juga disajikan kostum-kostum khas yang antara lain menampilkan gambar Yesus disalib dengan isi perut terburai keluar, setan kembar dipaku pada kayu salib, jubah kepala kambing dan pentagram, hingga gambar gadis telanjang dada dengan tubuh berdarah bekas tikaman pisau atau gigitan. Sejumlah penonton menggoreskan gambar salib terbalik di dahinya. Benarkah mereka pemuja setan? Sulit memang untuk melacaknya. Penggemar aliran ini jelas-jelas menolak anggapan tersebut.

Ketika menjumpai mereka di luar panggung, Sangkakala melihat kehidupan mereka tidak seseram yang dibayangkan. Solidaritas dan jaringan komunikasi di antara sesama undergrounder (sebutan bagi penggandrung aliran ini) justru terlihat kuat. Tak jarang mereka melakukan koordinasi antarkota, gotong-royong dan urunan untuk membayar pentas, mengingat masih langka pihak sponsor yang bersedia menyuntikkan dana.

Aliran ini muncul lebih sebagai protes terhadap aliran mainstream atau grup-grup mayor label. Mereka menganggap grup-grup itu menarik keuntungan komersial dengan bermain musik secara gampangan. Grup-grup underground di Barat memang ada yang terang-terangan mengaku sebagai pemuja setan. "Tapi kalau di Indonesia, terlahir karena ingin berekspresi," kata Eko dari Mortal Scream. Mereka juga menyadari keberadaannya di tengah budaya Timur, "Jadi kita cenderung mengambil aksi panggungnya saja, sekadar sensasi," tutur Eko lebih lanjut.

Penontonlah, konon, yang justru tidak tahu diri. "Penonton yang cuma ikut-ikutan, yang disebut abal-abal itu, yang sering keterlaluan. Nggak 'ngerti apa-apa sudah 'ngaku satanis," jelas Eko. Dewo ikut menambahkan, undergrounders yang dikenalnya "kebanyakan orang-orangnya humanis sekali dan peka terhadap sekelilingnya".

Kepekaan inilah yang selanjutnya dituangkan melalui lirik-lirik lagu mereka, yang rata-rata bercerita tentang kebencian, pemberontakan, kematian dan bahkan kekuasaan setan di dunia.

"Musisi brutal death metal biasanya menggotong tema-tema kematian," kata Pandu, vokalis Ruction.

"Ruction sendiri banyak mengambil tema-tema sosial seperti kemunafikan serta kesadisan manusia. Misalnya, tentang pembunuhan: kita menculik orang, lalu menyiksanya untuk kepuasan diri sendiri." Pandu mengaku mengambil kisah nyata dari koran, seperti kasus ibu yang membunuh dan memotong-motong anaknya, dan dari buku-buku perang.

Gendon, vokalis dan penulis lirik Mortal Scream, mengungkapkan hal senada. "Biasanya kita mengambil masalah kemanusiaan. Maksudnya, sisi buruk manusia itu sendiri, seperti 'nggak punya moral, pemerkosa, penghujat," ujarnya.

Kekuatan Musik

Bila dicermati, ada hal-hal yang kontradiktif dalam pernyataan para undergrounders tadi. Pernyataan tentang aksi panggung tadi, misalnya. Mungkinkah kita hanya mengambil aksi panggung suatu grup musik dengan mengesampingkan nilai-nilai yang ditawarkannya?

Musikolog Inggris, David Tame, dalam buku The Secret Power of Music menulis, "Moralitas sang musisi sangat menentukan… musik pasti selalu memiliki efek moral. Entah secara terang-terangan atau secara tidak kentara dikomunikasikan dari alam bawah sadar, melalui penampilannya seorang musisi selalu mengekspresikan keharmonisan atau ketidakkeharmonisan psikologis yang terjadi di dalam batin mereka."

Di bagian lain David Tame menulis, "Adapun yang paling menentukan sifat karya musik apa pun adalah keadaan mental dan emosional komposer atau musisinya. Esensi keadaan mental dan emosional itulah yang masuk ke dalam diri kita dengan kemampuan untuk membentuk dan mengubah kesadaran kita menjadi serupa dengan keadaan musisi tersebut." Melalui musik, nilai-nilai yang dianut sang musisi pun terserap ke dalam diri penyimaknya. Jimmi Hendrix, idola musik rock akhir tahun 1960-an, menuturkan, "Musik pada hakikatnya bersifat rohani. Anda dapat menghipnotis dengan musik, dan sewaktu orang mencapai titik kesadaran terlemah, Anda dapat mengkhotbahkan apa saja yang Anda inginkan ke dalam alam bawah sadar mereka."

Bisa "Bersih"

Gambaran mereka tentang satanisme juga telihat baru menyentuh bagian permukaan. Satanisme memang tidak selalu "seseram" yang kita bayangkan. Dengan kata lain, ritusnya tidak selalu melibatkan korban berdarah, baik dari binatang maupun manusia. Tidak pula selalu melibatkan penganiayaan seksual. Tidak. Satanisme bisa tampil "bersih".

Anton Szandor LaVey, pendiri gereja setan yang baru saja meninggal, mengungkapkan hakikat satanisme sebagai kesadaran bahwa kita adalah ilah bagi diri kita sendiri. Kita memiliki wewenang mutlak untuk menentukan dan melakukan apa yang kita sukai. Seperti dikatakan dalam Kitab Satan 4:3, "Katakanlah pada hatimu sendiri, 'Aku adalah penebus diriku sendiri'".

Dengan demikian, dalam satanisme sebenarnya orang tidak menyembah Satan (Iblis), melainkan menyembah dirinya sendiri! Meminjam kata-kata Billy Idol (musisi rock tahun 198-an), satanisme adalah "menari dengan diri sendiri." Dari satanisme inilah bersumber gelombang individualisme, relativisme, humanisme, materialisme, hingga fatalisme.

Lebih Keras

Fenomena ini dapat dijumpai pada perkenalan anak-anak muda itu dengan musik underground. "Saya senang thrash metal pas kelas 3 (SMU - Red.)," tutur Gendon. "Saya senang 'ndengerin musik dari grup-grup seperti Creator, Sepultura, Metallica, dan kemudian saya mencari yang lebih keras, misalnya Suffocation. Untuk bisa nangkep lirik-liriknya, kita mesti masuk ke situ. Kita baca teksnya, ternyata bisa! Lama-lama suka, terus kita hayati."

Pandu mengungkapkan pengalaman serupa. Berawal dari menyukai Sepultura, Creator dan Napalm Death, "Saya memilih jalur ini karena bersemangat, berbobot, dan penuh skill. Kalau saya simpulkan sendiri, brutal death metal itu seperti main jazz tapi 'ngebut! Fans kami suka musik yang kencang, aksi panggung dan kaos hitam. Soal lirik nggak selalu mereka dengar, soalnya kita seperti orang mengerang di panggung."

Adakah kegandrungan kaum muda kita kepada musik underground merupakan sinyal, bahwa budaya kita tengah bergulir ke tahap yang dimaksudkan Orwell? Apa yang terjadi sekarang ini seperti sebuah benih. Haruskah kita menunggu satu dua dasa warsa (atau bahkan lebih cepat) lagi untuk menuai buahnya, dan kemudian baru menyadari kesalahan yang telah kita buat hari ini?


* Artikel ini diambil dari sebuah artikel berjudul sama pada sebuah blog: http://dibawahtanah.blogspot.com/

3 komentar:

dinan mengatakan...

nice riset, nice ending, absolutely real story!!! Luv

Muslimhead mengatakan...

good, man!
you do the best!

Cakra Slamming mengatakan...

nice,keep on going

Posting Komentar